Masji Al Haram

Masji Al Haram

Rabu, 28 Desember 2011

Benarkah Kaum Wanita Tidak Boleh Masuk Masjid Karena Mereka Adalah Najis?


Oleh : Al-Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah wal Ifta

Pertanyaan
Al-Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah wal Ifta ditanya : Ada syaikh di negara Muslim mengeluarkan fatwa bahwa kaum wanita tidak boleh melaksanakan shalat di masjid-masjid atau bahwa kaum wanta adalah najis maka tidak boleh masuk ke dalam masjid. Pendapat semacam ini telah menimbulkan perselisihan di antara kaum Muslimin, bagaimana menurut Anda?

Jawaban
Manusia bukanlah najis, baik pria maupun wanita, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati, karena itu wanita dibolehkan untuk masuk ke dalam masjid kecuali jika ia dalam keadaan junub atau haidh, maka tidak boleh baginya untuk masuk ke masjid kecuali hanya sekedar lewat, dengan syarat ia harus berhati-hati agar darah haidhnya itu tidak menodai masjid, berdasarkan firman Allah.

“Artinya : (Jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja” [An-Nisa : 43]

Pernah isteri-isteri Nabi صلی الله عليه وسلم mengunjungi beliau saat beliau sedang iti’kaf di masjid, pernah juga di masjid Nabi صلی الله عليه وسلم ada seorang budak perempuan yang mengumpulkan sampah-sampah masjid dan membersihkannya, bahkan Nabi صلی الله عليه وسلم telah melarang kaum pria untuk mencegah kaum wanita melaksanakan shalat di masjid dengan sabdanya.

“Artinya : Janganlah kalian melarang kaum wanita untuk mendatangi masjid-masjid Allah”

Dan telah disebutkan dari Nabi صلی الله عليه وسلم bahwa beliau bersabda.

“Artinya : Sebaik-baiknya shaf kaum pria adalah shaf yang terdepan sedang shaf yang terburuk adalah shaf yang paling belakang, dan sebaik-baiknya shaf kaum wanita adalah shaf yang paling akhir sedang shaf yang  terburuk adalah shaf yang paling depan” [Diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’i, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah]

Hadits ini merupakan keterangan tentang kedudukan wanita terhadap shaf-shaf kaum pria dalam melaksanakan shalat berjama’ah. Telah disebutkan dari Nabi صلی الله عليه وسلم pula bahwa beliau bersabda.

“Artinya : Jika isteri-isteri kalian minta izin kepada kalian di malam hari untuk pergi ke masjid, maka berilah mereka izin” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’i dan At-Tirmidzi]

Al-Lajnah Ad-Daimah telah mengeluarkan fatwa tentang shalat wanita bersama jama’ah di masjid, fatwa itu berbunyi sebagai berikut :Diberi keringan bagi wanita yang datang ke masjid untuk melaksanakan shalat Jum’at dan untuk melaksanakan shalat-shalat lainnya dengan berjama’ah, dan bagi suaminya tidak boleh melarangnya melakukan hal itu, namun shalatnya seorang wanita di rumahnya adalah lebih baik baginya. Dan jika seorang wanita akan pergi ke masjid, maka ia harus memperhatikan etika Islam dengan menggunakan pakaian yang dapat menutupi auratnya, jangan menggunakan pakaian yang tipis (transparan) atau ketat yang dapat memperlihatkan lekuk-lekuk tubuhnya, tidak menggunakan minyak wangi dan tidak menyatu dalam shaf kaum pria, akan tetapi membuat shaf tersendiri di belakang shaf kaum pria. Kaum wanita di zaman Nabi صلی الله عليه وسلم pergi ke masjid dengan menutupi seluruh bagian tubuhnya dengan kain tebal, lalu mereka melakukan shalat di belakang kaum pria.

Telah shahih dari Nabi صلی الله عليه وسلم beliau bersabda.

“Artinya : Janganlah kalian melarang kaum wanita untuk mendatangi masjid-masjid Allah”

Beliau juga bersabda.

“Artinya  :Sebaik-baik shaf kaum pria adalah shaf yang paling depan sedang seburuk-buruknya adalah shaf yang paling akhir, dan sebaik-baik shaf kaum wanita adalah shaf yang paling akhir sedang seburuk-buruknya adalah shaf yang paling depan”

[Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyah, Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah 21/64]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq, Penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin]
Kategori: Wanita - Fiqih Shalat
Sumber: http://www.almanhaj.or.id
Tanggal: Minggu, 7 Januari 2007 04:25:29 WIB

Apakah Disyari'atkan Adzan Dan Iqamat Bagi Kaum Wanita


Oleh : Syaikh Abdul Aziz bin Baaz

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya : Apakah di Syari'atkan adzan dan iqamat bagi kaum wanita, baik sedang dalam perjalanan ataupun yang tidak, dan saat sendiri ataupun sedang bersama-sama ?

Jawaban
Tidak disyariatkan bagi kaum wanita untuk melaksanakan adzan dan iqamat baik di dalam perjalanan ataupun  tidak. Adzan dan iqamat merupakan hal yang dikhususkan bagi kaum pria sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits shahih dari Rasulullah صلی الله عليه وسلم.

[Fatawa Muhimmah Tata'allaq bish Shalah, syaikh Ibnu Baaz, hal. 32. Lihat buku At-Tanbihat 'ala Ahkam Takhtashshu bil Mukminat, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, hal. 27]


ADZAN WANITA DI TENGAH-TENGAH KAUM WANITA ATAU SAAT SENDIRIAN

Oleh
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta'




Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta' ditanya : Apakah wajib bagi wanita melakukan adzan dan iqamat untuk mendirikan shalat seorang diri di dalam rumah atau saat melakukan shalat jama'ah sesama kaum wanita ?

Jawaban
Tidak diwajibkan bagi kaum wanita untuk melakukan hal itu dan juga tidak disyari'atkan bagi mereka untuk  adzan dan iqamat.

[Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta' I/83, No. 9419]

APAKAH SEORANG WANITA HARUS IQAMAT SAAT IA MENJADI IMAM

Oleh
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta'



Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Da'imah :Lil Ifta' ditanya : Saya telah mengetahui bahwa seorang wanita tidak boleh iqamat, lalu pakah disyari'atkan baginya beriqamat jika ia mengimami shalat kaum wanita.?

Jawaban
Tidak disunnahkan beriqamat bagi jama'ah shalat kaum wanita yang diimami wanita pula. Ketetapan ini juga berlaku bagi wanita yang melakukan shalat sendiri, sebagaimana tidak disyari'atkan bagi mereka mengumandangkan adzan.

[Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta' hal. 84 No. 5176]


[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq, penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin]
Kategori: Wanita - Fiqih Shalat
Sumber: http://www.almanhaj.or.id
Tanggal: Rabu, 4 Februari 2004 14:09:10 WIB

Jumat, 23 Desember 2011

Imam Syafi'i Berpendapat Bahwa Sunnah Memiliki Tiga Sisi


Oleh : Al-Hafizh Al-Imam As-Suyuthi

Kemudian Al-Baihaqi berkata : "Berkata Imam Syafi'i Rahimahullah :'Bahwa Sunnah Rasulullah terdiri dari tiga sisi".

[1] Apa yang diturunkan Allah di dalam nash Al-Kitab maka Rasulullah menetapkan suatu Sunnah yang sama dengan nash yang ada dalam Kitabullah itu.

[2] Apa yang diturunkan Allah di dalam Al-Kitab berupa sesuatu yang bersifat umum, lalu Rasulullah صلی الله عليه وسلم menerangkan maksud yang diinginkan dari sesuatu yang bersifat umum dalam Kitabullah itu dan menjelaskan rinciannya serta menjelaskan bagaimana caranya hamba Allah melakukan yang dimaksud

[3] Rasulullah صلی الله عليه وسلم menetapkan suatu hukum yang mana hukum yang ditetapkan beliau itu tidak ada nashnya dalam Kitabullah.

Ada perbedaan pendapat di kalangan kaum muslimin tentang sisi ketiga ini, di antara mereka ada yang berpendapat : Bahwa hal tersebut telah Allah tetapkan bagi Rasulullah صلی الله عليه وسلم sebagai bagian dari apa yang wajib ditaati, yang mana hukum yang ditetapkan beliau itu adalah bagian dari ilmu Allah yang diberikan kepada utusan-Nya itu dari sisi Allah, karena Allah telah meridhainya untuk menerangkan sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al-Kitab. Pendapat lain mengatakan bahwa beliau tidak menetapkan suatu Sunnah kecuali ketetapan sunnah itu memiliki dasar dalam Kitabullah sebagaimana beliau menetapkan Sunnah tentang bilangan dan cara shalat yang berdasarkan pada adanya kewajiban shalat dalam Al-Qur'an yang bersifat umum, begitu juga dengan apa yang beliau tetapkan dalam Sunnah tentang urusan  jual beli serta ketetapan-ketetapan syari'at lainnya, karena Allah سبحانه و تعالى telah berfirman.

"Artinya : Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu". [An-Nisa : 29]

Dan Allah berfirman.

"Artinya : Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba". [Al-Baqarah : 275]

Maka setiap sesuatu yang dihalalkan dan diharamkan tak lain adalah dari Allah, yang diterangkan dalam Sunnah Rasul sebagaimana kewajiban shalat dari Allah yang diterangkan dalam sunnah Rasul. Dan juga ada yang berpendapat ; bahwa Sunnah yang ditetapkan Rasulullah itu adalah sesuatu yang telah Allah bisikkan di dalam jiwa utusan-Nya itu.

Sampai disinilah pembahasan Imam Syafi'i tentang sisi-sisi Sunnah.



[Disalin dari buku Miftahul Jannah fii Al-Ihtijaj bi As-Sunnah, edisi Indonesia KUNCI SURGA Menjadikan Sunnah Rasulullah صلی الله عليه وسلم Sebagai Hujjah oleh Al-Hafizh Al-Imam As-Suyuthi hal. 28-30, Penerjemah Amir Hamzah Fazhruddin]
Kategori: As-Sunnah
Sumber: http://www.almanhaj.or.id
Tanggal: Kamis, 26 Februari 2004 11:00:33 WIB

Muqaddimah Kitab I'tiqad Al-A'immah Al-Arba'ah


Oleh : Dr. Muhammad Abdurrahman Al-Khumais 

Segala puji bagi Allah. Kepadanya kita memuji, meminta pertolongan, petunjuk, dan ampunan. Kita berlindung kepada-Nya dari kejahatan jiwa kita dan keburukan perbuatan jiwa kita. Siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan siapa yang disesatkan oleh Allah, maka tidak ada seorang pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya.

Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah, Yang Maha Esa, dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah. Allah berfirman:

"Artinya : Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah, dan jangan sekali-kali mati kecuali sebagai muslim."  [Ali Imran: 102]

"Artinya : Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari padanya Dia menciptakan istrinya; dan daripadanya Dia memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan keluarga. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu."  [An-Nisa': 1]

"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, maka Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu, dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa menta'ati Allah dan Rasul-Nya, maka ia akan memperoleh keberuntungan yang agung." [Al-Ahzab: 70-71]

Saya telah melakukan penelitian yang cukup luas untuk meraih gelar Doktor tentang aqidah Imam Abu Hanifah. Dalam bagian pendahuluan dari penelitian itu tercakup ringkasan tentang aqidah tiga imam yang lain, yaitu Imam Malik, Imam  Syafi'i, dan Imam Ahmad. Sejumlah orang yang mulia telah meminta saya untuk membuat bahasan tersendiri tentang aqidah imam tiga, sebagai pelengkap dalam menyajikan bahasan aqidah empat Imam.

Karenanya ringkasan tentang aqidah Imam Abu Hanifah dalam masalah tauhid, qadar, iman, sahabat, dan sikap beliau tentang ilmu kalam, saya gabungkan dalam pendahuluan penelitian saya tersebut.

Kepada Allah saya bermohon agar pekerjaan ini benar-benar ikhlas untuk memperoleh ridha-Nya, dan semoga Allah menganugrahkan taufiq kepada kita semua, sehingga kita dapat memperoleh bimbingan sesuai dengan kitab-Nya, dan berjalan sesuai dengan sunnah Rasul-Nya. Karena Allah jualah yang mengetahui niat seseorang. Dia jualah yang mencukupkan kita, dan Dia sebaik-baik Dzat tempat kita berserah diri.

Dan akhir do'a kita adalah alhamdulillahi Rabbil 'Alamin.


[Disalin dari kitab I'tiqad Al-A'immah Al-Arba'ah edisi Indonesia Aqidah Imam Empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, Ahmad) oleh Dr. Muhammad Abdurarahman Al-Khumais, Penerbit Kantor Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabia Di Jakarta]
Kategori: Aqidah Empat Imam
Sumber: http://www.almanhaj.or.id
Tanggal: Jumat, 16 Juli 2004 13:32:58 WIB

Larangan Imam Malik Terhadap Ilmu Kalam dan Berdebat Dalam Agama

Oleh : Dr. Muhammad Abdurrahman Al-Khumais

[1]. Imam Ibn ‘Abdil Bar meriwayatkan dari Mush'ab bin Abdullah bin az-Zubairi, katanya, Imam Malik pernah berkata: "Saya tidak menyukai Ilmu Kalam dalam masalah agama, warga negeri ini juga tidak menyukainya, dan melarangnya, seperti membicarakan pendapat Jahm bin Shafwan, masalah qadar dan sebagainya. Mereka tidak menyukai Kalam kecuali di dalam terkandung amal. Adapun Kalam di dalam agama, bagi saya lebih baik diam saja. karena hal-hal di atas [1]

[2]. Imam Abu Nu'aim juga meriwayatkan dari Abdullah bin Nafi, katanya, saya mendengar Imam Malik berkata: "Seandainya ada orang melakukan dosa besar seluruhnya kecuali menjadi musyrik. kemudian dia melepaskan diri dari bid'ah-bid'ah Ilmu Kalam ini, dia akan masuk surga." [2]

[3]. Imam al-Harawi meriwayatkan dari Ishaq bin Isa, katanya, Imam Malik berkata, "Barangsiapa yang mencari agama lewat Ilmu Kalam ia akan menjadi kafir zindiq, siapa yang mencari harta lewat Kimia, ia akan bangkrut, dan siapa yang mencari bahasa-bahasa yang langka dalam Hadits (gharib al-Hadits) ia akan bohong."[3]

[4]. Imam al-Katib al-Baghdadi meriwayatkan dari Ishaq bin Isa, katanya, saya mende-ngar Imam Malik berkata: "Berdebat dalam agama itu aib (cacat)." Beliau juga berkata: "Setiap ada orang datang kepada kita, ia ingin berdebat. Apakah ia bermaksud agar kita ini menolak apa yang telah dibawa oleh Malaikat Jibril kepada Nabi صلی الله عليه وسلم?" [4]

[5]. Imam al-Harawi meriwayatkan dari Abdur Rahman bin Mahdi, katanya, saya masuk ke rumah Imam Malik, dan di situ ada seorang yang sedang ditanya oleh Imam Malik: "Barangkali kamu murid dari 'Amir bin 'Ubaid. Mudah-mudahan Allah melaknat ‘Amr bin ‘Ubaid karena dialah yang membuat bid’ah Ilmu Kalam. Seandainya kalam itu merupakan Ilmu, tentulah para Sahabat dan Tabi’in sudah membicarakannya, sebagaimana mereka juga berbicara masalah hukum (fiqih) dan syari’ah.”[5]

[6]. Imam al-Harawi meriwayatkan dari ‘Aisyah bin Abdul Aziz, katanya, saya mendengar Imam Malaik berkata: “Hindarilah bid’ah”. Kemudian ada orang yang bertanya, “Apakah bid’ah itu, wahai Abu Abdillah?”. Imam Malik menjawab: “Penganut bid’ah itu adalah orang-orang yang membicarakan masalah nama-nama Allah, sifat-sifat Allah, kalam Allah, ilmu Allah, dan qudrah Allah. Mereka tidak mau bersikap diam (tidak memperdebatkan) hal-hal yang justru para Sahabat dan Tabi’in tidak membicarakannya.” [6]

[7]. Imam Abu Nu’aim meriwayatkan dari Imam  Syafi’i, katanya, Imam  Malik bin Anas, apabila kedatangan orang yang dalam agama mengikuti seleranya saja, beliau berkata: “Tentang diri saya sendiri, saya sudah mendapatkan kejelasan tentang agama dari Tuhanku. Sementara anda memilih ragu-ragu. Pergilah saja kepada orang-orang yang masih ragu-ragu, dan debatlah dia.”[7]

[8]. Imam Ibn ‘Abdil Bar meriwayatkan dari Muhammad bin Ahmad al-Mishri al-Maliki, di mana ia berkata dalam bab al-Ijarat dalam kitab al-Khilaf, Imam Malik berkata: “Tidak boleh menyebarkan kitab-kitab yang ditulis oleh orang-orang yang dalam beragama hanya mengikuti selera, bid’ah dan klenik; dan kitab-kitab itu adalah kitab-kitab penganut kalam, seperti kelompok Mu’tazilah dan sebagainya.”[8]

Dan Itulah sekilas tentang sikap Imam  Malik bin Anas dan pendapat-pendapat beliau tentang masalah Tauhid, Sahabat, Imam, Ilmu Kalam dan Lain-lain


[Disalin dari kitab I'tiqad Al-A'immah Al-Arba'ah edisi Indonesia Aqidah Imam Empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, Ahmad), Bab Aqidah Imam Malik bin Anas Hanifah, oleh Dr. Muhammad Abdurarahman Al-Khumais, Penerbit Kantor Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabia Di Jakarta]
_________
Foote Note
[1].Jami' Bayan al-'Ilm wa Al-Fadhilah, hal. 415
[2]. Al-Hilyah, VI/325
[3]. Dzamm Al-Kalam, lembar 173-B
[4]. Syaraf ASh-hab Al-Hadits, hal. 5
[5]. Dzan Al-Kalam, lembar 173-B
[6]. Ibid, lembar 173
[7]. Al-Hilyah, VI/324
[8]. Jami' Bayan al-'Ilm wa Al-Fadhilah, hal. 416-417
Kategori: Aqidah Empat Imam
Sumber: http://www.almanhaj.or.id
Tanggal: Rabu, 12 Juli 2006 00:03:07 WIB

Larangan Abu Hanifah Terhadap Ilmu Kalam Dan Berdebat Dalam Masalah Agama


Oleh : Dr. Muhammad Abdurrahman Al-Khumais

[1]. Imam Abu Hanifah berkata: "Di kota Bashrah orang-orang yang mengikuti hawa nafsu (selera) sangat banyak. Saya dating di Bashrah lebih dari dua puluh kali. Terkadang saya tinggal di Bashrah lebih dari satu tahun,, terkadang satu tahun, dan terkadang kurang dari satu tahun. Hal itu karena saya mengira bahwa Ilmu Kalam itu adalah ilmu yang paling mulia." [1]

[2]. Beliau menuturkan: "Saya pernah mendalami Ilmu Kalam, sampai saya tergolong manusia langka dalam Ilmu Kalam. Suatu saat saya tinggal dekat pengajian Hammad bin Abu Sulaiman. Lalu ada seorang wanita datang kepadaku, ia berkata: "Ada seorang lelaki mempunyai seorang istri wanita sahaya. Lelaki itu ingin menalaknya dengan talak yang sesuai sunnah. Berapakah dia harus menalaknya?"

Pada saat itu saya tidak tahu apa yang harus saya jawab. Saya hanya menyarankan agar dia dating ke Hammad untuk menanyakan hal itu, kemudian kembali lagi ke saya, dan apa jawaban Hammad. Ternyata Hammad menjawab: "Lelaki itu dapat menalaknya ketika istrinya dalam keadaan suci dari haid dan juga tidak dilakukan hubungan jima', dengan satu kali talak saja. Kemudian istrinya dibiarkan sampai haid dua kali. Apabila istri itu sudah suci lagi, maka ia halal untuk dinikahi.

Begitulah, wanita itu kemudian datang lagi kepada saya dan memberitahukan jawaban Hammda tadi. Akhirnya saya berkesimpulan, "saya tidak perlu lagi mempelajari Ilmu Kalam. Saya ambil sandalku dan pergi untuk berguru kepada Hammad." [2]

[3]. Beliau berkata lagi: "Semoga Allah melaknati Amr bin Ubaid, karena telah merintis jalanuntuk orang-orang yang mempelajari Ilmu Kalam, padahal ilmu ini tidak ada gunanya bagi mereka."[3]

Beliau juga pernah ditanya seseorang, "Apakah pendapat anda tentang masalah baru yang dibicarakan orang-orang dalam Ilmu Kalam, yaitu masalah sifat-sifat dan jism?" Beliau menjawab, "itu adalh ucapan-ucapan para ahli filsafat. Kamu harus mengikuti hadits Nabi صلی الله عليه وسلم dan metode para ulama salaf. Jauhilah setiap hal yang baru karena hal itu adalah bid'ah." [4]

[4]. Putra Imam Abu Hanifah, yang namanya Hammad, menuturkan, "Pada suatu hari ayah datang ke rumahku. Waktu itu di rumah ada orang-orang yang sedang menekuni Ilmu Kalam, dan kita sedang berdiskusi tentang suatu masalah. Tentu saja suara kami keras, sehingga tampaknya ayah terganggu. Kemudian saya menemui beliau, "Hai Hammad, siapa saja orang-orang itu?", Tanya beliau. Saya menjawab dengan menyebutkan nama mereka satu persatu. "Apa yang sedang kalian bicarakan?", Tanya beliau lagi. Saya menjawab, "Ada suatu masalah ini dan itu". Kemudian beliau berkata: "Hai Hammad, tinggalkanlah Ilmu Kalam."

Kata Hammad selanjutnya: "Padahal setahu saya, ayah tidak pernah berubah pendapat, tidak pernah pula menyuruh sesuatu kemudian melarangnya. " Hammad kemudian berkata kepada beliau., "wahai Ayahanda, bukankah ayahanda pernah menyuruhku untuk mempelajari Ilmu Kalam?" "ya, memang pernah". Jawab beliau, "Tetapi itu dahulu. Sekarang saya melarangmu, jangan mempelajari Ilmu Kalam", tambah beliau

"Kenapa, wahai ayahanda?", Tanya Hammad lagi. Beliau menjawab, "Wahai anakku, mereka yang berdebat dalam Ilmu Kalam, pada mulanya adalah bersatu pendapat dan agama mereka satu. Nemun syetan mengganggu mereka sehinggamereka bermusuhan dan berbeda pendapat." [5]

[5]. Kepada Abu Yusuf, Imam Abu Hanifah berkata: "Jangan sekali-kali kamu berbicara kepada orang-orang awam dalammasalah ushuluddin dengan mengambil pendapat Ilmu Kalam, karena mereka akan mengikuti kamu dan akan merepotkan kamu." [6]

Inilah rangkuman dari pendapat-pendapat Imam Abu Hanifah rahimahullah, tentang aqidah beliau dalam masalah ushuluddin dan sikap beliau terhadap Ilmu Kalam dan ahli-ahli Ilmu Kalam



[Disalin dari kitab I'tiqad Al-A'immah Al-Arba'ah edisi Indonesia Aqidah Imam Empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, Ahmad), Bab Aqidah Imam Abu Hanifah, oleh Dr. Muhammad Abdurarahman Al-Khumais, Penerbit Kantor Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabia Di Jakarta]
_________
Foote Note
[1]. Al-Kurdi, Manaqib Abi Hanifah, hal.137
[2]. Tarikh Baghdad XIII/333
[3]. Al-Harawi, Dzamm 'Ilm Al-Kalam, hal. 28-31
[4]. Al-Harawi, Dzamm 'Ilm Al-Kalam, lembar 194-B
[5]. Al-Makki, Manaqib Abu Hanifah, hal.183-184
[6]. Ibid, hal.37